Kota Malang - Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H. menyoroti kasus dugaan pelecehan seksual oleh dokter terhadap pasien yang terjadi akhir-akhir ini.
Ia menyebut, kasus kekerasan seksual yang melibatkan dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) itu dinilai sebagai fenomena “gunung es”.
Menurutnya, kasus tersebut mencerminkan masih lemahnya sistem pencegahan kekerasan seksual di suatu lingkungan.
“Ini adalah puncak dari kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dengan kelainan seksual. Kuncinya ada pada sistem pencegahan,” ujarnya saat diwawancarai pada Senin (21/4).
Dr. Fachrizal mengungkapkan bahwa meskipun beberapa kampus telah membentuk satuan tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pasca disahkannya Undang-Undang TPKS pada 2022, namun efektivitasnya masih perlu dievaluasi. Ia menilai munculnya kasus ini ke publik merupakan sinyal bahwa satgas tersebut belum berjalan optimal.
“Satgas-satgas ini belum bisa efektif, maka perlu ada evaluasi dan penguatan. Namun, hadirnya UU TPKS dan satgas ini juga menumbuhkan keberanian korban untuk speak up, dan ini tren yang positif,” tambahnya.
Ia juga menyebut bahwa kasus-kasus kekerasan seksual seperti ini telah lama terjadi dan bersifat laten. Namun, kini korban mulai lebih berani melapor melalui berbagai saluran, termasuk media sosial. Menurutnya, meningkatnya jumlah korban yang berani bicara menunjukkan bahwa budaya patriarki masih menjadi akar persoalan yang harus dibenahi secara sistemik.
Dr. Fachrizal juga menyoroti pentingnya SOP yang ketat, terutama dalam konteks dunia medis. “Jangan sampai dokter dan calon dokter menyalahgunakan akses terhadap obat-obatan untuk melakukan tindakan serupa di masa mendatang,” tegasnya.
Ia menyampaikan harapannya agar kasus-kasus kekerasan seksual tidak diselesaikan dengan jalur damai, melainkan harus ditangani secara profesional. “Harus ada sistem pencegahan yang dibangun secara menyeluruh, dan kasus-kasus seperti ini jangan diselesaikan damai. Harus ditindak secara hukum agar memberikan efek jera,” ungkapnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran UB, Dr. dr. Wisnu Barlianto, M.Si.Med, Sp.A(K) tidak membenarkan tindakan pelecehan seksual dalam bentuk apapun terutama dalam lingkungan pelayanan kesehatan yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme, etika, dan perlindungan terhadap pasien dan keluarganya.
Menurutnya, lingkungan rumah sakit itu harus menjadi tempat yang aman untuk pasien. Dan sebenarnya seorang dokter pada saat sebelum berpraktik dia sudah disumpah salah satunya adalah menjaga etika.
"Jadi kalau dia melakukan hal-hal seperti itu dia sudah melanggar sumpah dokter yang sudah diucapkannya," katanya.
Dia menambahkan, dalam pendidikan seorang calon dokter sudah dibekali dengan pendidikan etika dan bagaimana cara menghadapi pasien. "Karena yang dihadapi adalah seorang manusia bukan mesin. Sehingga ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam berinteraksi dengan pasien," sambungnya.
Dia memberikan contoh hal yang kecil ketika seorang dokter memeriksa hal yang sensitif tidak boleh sendiri tapi harus ditemani dengan perawat. "Itu sudah kita ajari pada saat dia melakukan pendidikan," jelasnya.
Selain itu, pada saat akan mendaftar pendidikan dokter spesialis, ada tes MMPI. MMPI atau Minnesota Multiphasic Personality Inventory adalah tes psikologi yang umum digunakan untuk menilai kepribadian dan psikopatologi.
"Jadi itu melihat keperibadian, integritas. Jadi kami sudah ada cut off-nya ya. Kalau dia kurang dari penilaiannya maka dia tidak akan masuk," katanya.
Pada saat pendidikan, pun bahkan setelah menjadi dokter dikatakannya nilai-nilai etika selalu diterapkan di setiap sesi-sesi atau pertemuan ilmiah.
'Termasuk kami, sebagai dokter anak ya, kami setiap acar-acar ilmiah itu pasti ada satu sesi tentang etika. Itu selalu diingatkan," paparnya.
Dia berharap tidak terjadi lagi kasus tersebut di kemudian hari. Hal ini sangat mencoreng marwah profesi kedokteran. "Profesi kedokteran itu adalah profesi yang punya marwah yang baik ya menjunjungi nilai-nilai profesionalisme. Jadi saya harap ini tidak terjadi lagi dan kami berharap semua pihak terutama dari institusi pendidikan lebih memperketat seleksi dalam penerimaan mahasiswa khususnya mahasiswa calon spesialis," katanya.
Dokter spesialis anak tersebut juga berharap, dalam pembelajaran pendidikan, hal-hal yang berkaitan dengan etika lebih ditingkatkan dan lebih intensif dilakukan. [ub-asa]
0 Comments